Rasionalisme
Kata rasionalisme terdiri dari dua suku kata, yaitu
“rasio” yang berarti akal atau pikiran, dan “isme” yang berarti paham atau
pendapat. Rasionalisme ialah suatu paham yang berpendapat
bahwa “kebenaran yang tertinggi terletak dan bersumber dari akal manusia.” Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan
bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan.
Menurut aliran ini, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir.
Hanya rasio sajalah
yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal
yang terang-benderang yang disebut Ideas
Claires et Distinctes (pikiran
yang terang-benderang dan terpilah-pilah). Idea terang-benderang ini pemberian
Tuhan sebelum orang dilahirkan (idea innatae= ide bawaan). Sebagai
pemberian Tuhan, maka tak mungkin tak benar.
Oleh karena itu,
rasio dipandang kecuali sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan/kebenaran,
juga sekaligus sebagai sumber pengetahuan/kebenaran. Adapun pengetahuan indera
dianggap sering menyesatkan.
Aliran rasionalisme ada dua macam yaitu dalam bidang agama
dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama aliran rasionalisme adalah lawan dari autoritas dan biasanya digunakan untuk
mengkritik ajaran agama. Sedangkan dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirismedan sering berguna
dalam menyusun teori pengetahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh
dengan jalan mengetahui obyek empirisme,
maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan
diperoleh dengan cara berpikir, pengetahuan dari empirisme dianggap sering menyesatkan. Adapun
alat berpikir adalah kaidah-kaidah yang logis.
Sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah
menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan
dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya
(Socrates, Plato, Aristoteles), dan juga beberapa tokoh sesudah itu. Pada zaman
modern filsafat, tokoh pertamarasionalisme ialah Descartes yang dibicarakan
setelah ini. Bersamaan dengan itu akan dibicarakan juga tokoh besar rasionalisme lainnya, yaitu Baruch Spinoza dan
Leibniz. Setelah periode ini rasionalismedikembangkan
secara sempurna oleh Hegel yang kemudian terkenal sebagai tokoh rasionalisme dalam sejarah.
Di dalam karangan
ini rasionalisme dilihat terutama sebagai reaksi
terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan Kristen di Barat. Sebagaimana
nanti dapat dilihat, pada konteks itulah kepentingan Descartes dibicarakan agak
panjang lebar di sini. Descartes lebih diperhatikan karena ada keistimewaan
padanya: keberaniannya melepaskan diri dari kerangkeng yang mengurung filosof
Abad Pertengahan.
Zaman modern dalam
sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes. Tentu saja
pernyataan ini bermaksud menyederhanakan permasalahan. Kata modern di sini
hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat
berbeda, bahkan berlawanan, dengan corak filsafat pada Abad Pertengahan
Kristen. Corak utama filsafat modern yang dimaksud di sini ialah dianutnya
kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani Kuno.
Gagasan itu, disertai oleh argumen yang kuat, diajukan oleh Descartes. Oleh
karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga disebut bercorakrenaissance.
Apa yang lahir kembali itu? Ya, rasionalisme Yunani itu. Yang harus diamati di sini
ialah apakah konsekuensi rasionalisme pada masa Yunani akan terulang
kembali.
Descartes dianggap
sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertrand Russel, anggapan itu memang
benar. Kata “Bapak” diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada
Zaman Modern itu yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri
sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dialah orang pertama di akhir
Abad Pertengahan itu yang menyusun argumentasi yang kuat, yang distinct, yang menyimpulkan
bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat
suci, bukan yang lainnya.
Menurut catatan,
Descartes adalah orang Inggris. Ayahnya anggota parlemen Inggris. Pada tahun
1612 Descartes pergi ke Prancis. la taat mengerjakan ibadah menurut ajaran
agama Katholik, tetapi ia juga menganut Galileo yang pada waktu itu masih
ditentang oleh tokoh-tokoh Gereja. Dari tahun 1629 sampai tahun 1649 ia menetap
di Belanda.
Pengaruh keimanan
yang begitu kuat pada Abad Pertengahan, yang tergambar dalam ungkapan credo ut intelligam itu, telah membuat para pemikir takut
mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan pendapat tokoh Gereja. Apakah ada
filosof yang mampu dan berani menyelamatkan filsafat yang dicengkeram oleh iman
Abad Pertengahan itu? Ada. Tokoh itu adalah Descartes.
Descartes telah
lama merasa tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan
banyak memakan korban itu. Amat lamban terutama bila dibandingkan dengan
perkembangan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang
mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. la ingin
filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen. Ia ingin filsafat dikembalikan
kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Ia
ingin menghidupkan kembali rasionalisme Yunani.
Tokoh Rasionalisme dan Pemikirannya
Rene Descartes (1596-1650)
Peletak fondasi
aliran ini ialah Rene Descastes (Certasius/1596-1650) yang digelar sebagai
“Bapak filsafat modern”. Descartes berasal dari Perancis, lahir tahun 1596 di
sebuah kota bernama La Haye, dan wafat tahun 1650 di Stockholm. Karya
pentingnya ialah Discours de
la Methode (Uraian tentang
Metode), terbit tahun 1637; Mediationes
de Prima Philosophia (Renungan
Tentang filsafat), terbit tahun 1641; dan Principia
Philosophic (Prinsip-prinsip
Filsafat), terbit tahun 1644. Semboyan dari aliran ini ialah ungkapan
Descartes yang berbunyi: Cogito
ergo sum/I think therefore I’m (saya
berpikir maka saya ada).
Dari ungkapan
sederhana ini, dapat diambil beberapa rumusan, sebagai berikut:
1. Eksistensi
manusia yang paling sempurna ialah rasionya, sehingga rasio berperan sebagai
“pengenal dirinya” sesuai dengan koherensi antara berpikir dan berada. Artinya
keberadaan manusia terwujud/terkonsep setelah dia memikirkan dirinya.
2. Dengan
rasio, manusia berhasil menemukan kesan (pengetahuan baru) tentang dirinya yang
tidak atau kurang diketahui sebelumnya, kecuali melalui sumber lain, yaitu
kitab suci.
3. Rasio
tidak hanya sebagai penemu kesan (pengetahuan dan kebenaran) melainkan
kebenaran/pengetahuan hanyalah yang diperoleh melalui rasio tersebut.
Untuk menemukan
basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu) segala
sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat
diindera, objek yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. Inilah langkah pertama
metode cogito tersebut. Dia meragukan adanya
badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi,
halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman dengan roh halus ada yang
sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami
sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi seolah-olah
seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak
mimpi (jaga). Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan
gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu,
Descartes berkata,” Aku dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam pakaian
siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat meragukan itu karena kadang-kadang aku
bermimpi persis seperti itu, padahal aku ada di tempat tidur, sedang bermimpi.”
Tidak ada batas yang tegas antara mimpi (sedang mimpi) dan jaga. Tatkala
bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi. Siapa yang dapat menjamin
kejadian-kejadian waktu jaga (yang kita katakan sebagai jaga ini) sebagaimana
kita alami adalah kejadian-kejadian yang sebenarnya, jadi bukan mimpi? Tidak
ada perbedaan yang jelas antara mimpi dan jaga; demikian yang dimaksud oleh
Descartes.
Aku yang sedang
ragu itu disebabkan oleh aku
berpikir. Kalau
begitu, aku berpikir pasti ada dan benar.
Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang berpikir itu aku. Cogito ergo sum, aku berpikir, jadi aku ada. Sekarang
Descartes telah menemukan dasar (basis) bagi filsafatnya. Basis itu bukan
filsafat Plato, bukan filsafat Abad Pertengahan, bukan agama atau yang lainnya.
Fondasi itu ialahAku yang berpikir. Pemikiranku
itulah yang pantas dijadikan dasar filsafat karena aku yang berpikir itulah
yang benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau pikiranmu..Di sini
kelihatanlah sifatsubjektif, individualists, humanis dalam filsafat Descartes. Sifat-sifat
inilah, nantinya, yang mendorong perkembangan filsafat pada Abad Modern
Setelah fondasi itu
ditemukan, mulailah ia mendirikan bangunan filsafat di atasnya. Akal itulah
basis yang paling terpercaya dalam berfilsafat.
Spinoza (1632-1677)
Nama lengkapnya
ialah Baruch de Spinoza, dalam bahasa Latin disebut Benedictus dan dalam bahasa
Portugis dengan Bento. Spinoza lahir di Amesterdam, Belanda tahun 1632 dan
wafat tahun 1677 di Den Haag. Sebagai filsuf pengikut rasionalisme, Spinoza sangat
tertarik kepada Descartes. Kecuali ahli dalam bidang filsafat, filsuf ini juga
ahli dalam bidang politik, teologia dan etika. Ini terekam dalam tiga bukunya,
yaitu Tractus Theologico
Politicus (terbit tahun
1670), Ethica, Or dine
Ceometrico Demonstrate (terbit
tahun 1677), dan Tractus
Politicus (terbit tahun
1677).
Spinoza
mencita-citakan suatu system berdasarkan rasionalisme,
untuk mencapai kebahagiaan bagi manusia. Menurutnya aturan dan hukum yang
terdapat pada semua hal tidak lain dari aturan dan hukum yang terdapat pada
idea. Sebagai dasar segala-galanya harus diterima sesuatu yang tak terdasarkan
kepada yang lain, jadi yang mutlak.
Berbeda dengan
Descartes, sesuai dengan semboyannya “Deus sen Natura” (Tuhan atau alam),
Spinoza adalah seorang rasionalis yang mistik. Menurut Spinoza, seluruh
kenyataan merupakan kesatuan, dan kesatuan sebagai satu-satunya substansi sama
dengan Tuhan atau alam. Segala sesuatu termuat dalam Tuhan-alam. Tuhan sama
dengan aturan kosmos, Kehendak Tuhan berarti sama dengan kehendak alam,
sehingga hukum-hukum alam sama dengan kehendak Tuhan.
Leibniz (1646-1716)
Gottfried Eilhelm
von Leibniz adalah filosof Jerman, pusat metafisikanya adalah idea tentang
substansi yang dikembangkan dalam konsep monad. Metafisika Leibniz sama
memusatkan perhatian pada substansi, yaitu prinsip
akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus
mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan harus mempunyai alas an untuk setiap yang
diciptakan-Nya.
Leibniz berpendapat
bahwa substansi itu banyak, ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiapmonad berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan
(sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monadyang tidak
dicipta) adalah pencipta monad-monad itu.
Empirisme
Istilah empirisme berasal dari kata empiri yang berarti indra atau alat
indra, dan ditambah akhiranisme, sebagai suatu aliran yang berpendapat
bahwa pengetahuan/kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal,
melainkan diperoleh/bersumber dari panca indra manusia, yaitu mata, lidah,
telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang
sesuai dengan pengalaman manusia.
Untuk memahami inti
filsafat Empirisme perlu memahami dulu dua ciri
pokok Empirisme,
yaitu mengenai teori makna dan teori tentang pengetahuan.
Teori makna pada
aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori
tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau konsep. Pada Abad
Pertengahan teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran
kita selain didahului oleh pengalaman). Sebenarnya pernyataan ini merupakan
tesis Locke yang terdapat di dalam bukunya, An
Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia
menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang
rasionalis. Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya
kosong, laksana kertas putih atau tabula
rasa, yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap idea yang diperolehnya
mestilah datang melalui pengalaman; yang dimaksud dengan pengalaman di sini
ialah pengalaman inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari obervasi yang kita
lakukan terhadap jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke
disebut inner sense (pengindera dalam).
Teori yang kedua,
yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut. Menurut orang
rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti “setiap kejadian tentu mempunyai
sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan
kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah
kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional.
Empirisisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu.
Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat
observasi jadi ia kebenaran a
posteriori.
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon
(1210-1292) dan Thomas Hobbes (1588-1679), namun mengalami sistimatisasi pada
dua tokoh berikutnya, yaitu John Locke dan David Hume.
Tokoh Empirisme dan Pemikirannya
Francis Bacon (1210-1292)
Menurut Francis
Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang
melalui persentuhan inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber
pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Jadi pemikiran
Francis Bacon ini sangat bertentangan dengan pemikiran para filosof aliran
rasionalis.
Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas Hobbes berpendapat
bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu
yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan
intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan data-data
inderawi belaka.
John Locke (1632-1704)
John Locke adalah
filosof Inggris. la lahir di Wrington, Somersetshire, pada tahun 1632. Tahun
1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford,
mempelajari agama Kristen. Sementara ia mempelajari vaknya, ia juga mempelajari
pengetahuan di luar tugas pokoknya.
Filsafat Locke
dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh
Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descartes. Ia juga
menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi
berdasarkan pengalaman;
Jadi, induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (reason). la hanya
menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode
induksi.
Buku Locke, Essay Concerning Human Understanding (1689), ditulis berdasarkan satu
premis, yaitu semua
pengetahnan datang dari pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat
dijadikan idea atau konsep tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman,
tidak ada idea yang diturunkan seperti yang diajarkan oleh Plato. Dengan kata
lain, Locke menolak adanya innate
idea; termasuk apa yang diajarkan oleh Descartes, Clear and distinc idea. Adequate idea dari Spinoza, truth of reasondari Leibniz,
semuanya ditolaknya. Yang innate (bawaan) itu tidak ada.
Segala sesuatu
berasal dari pengalaman indrawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai
kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi (konsep tabula rasa). Dengan
demikian, John Locke menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal
budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri). Ungkapan yang
sering digunakan ialah: Exprience,
in that all knowledge is founded (Pengalaman,
semua pengetahuan berdasarkan pengalaman).
David Hume (1711-1776)
Tokoh lain ialah David
Hume (1711-1776) pelanjut kajian Locke. Home lahir di Edinburg, Scotland tahun
1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama. Hume seorang yang menguasai hukum,
sastera dan filsafat. Karya terpentingnya ialah A Treatise on Human Nature,
terbit tahun 1738-1740; An
Enquiry Concerning Human Understanding, terbit tahun 1748; dan An Enquiry into the Principles of
Moral, (terbit tahun 1751).
Pemikiran
empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang sangat singkat, yaitu: I never catch my self at any time
with out a perception (Saya
selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya)
Dari ungkapan ini
Hume menyampaikan bahwa, “seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari
rangkaian-rangkaian kesan (impression) dan impression inilah sebagai
bahan dari ilmu.
Kriticisme
Pendirian aliran Rasionalisme dan Empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah sumber
pengenalan atau pengetahuan, sedang Empirisme sebaliknya berpendirian bahwa
pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.
Aliran ini mencoba
untuk memadukan perbedaan pendapat kedua aliran tersebut dengan tokohnya adalah Immanuel Kant (1724-1804). Ia
mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan
ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan
salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari
indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana
kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam
manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.
Untuk menghilangkan
pertentangan di antara rasionalisme dan empirisme,
Kant mengadakan pemaduan di antara dua aliran ini dalam hal perumusan
kebenaran. Dalam kaitan ini Kant mengatakan:
Pengetahuan
merupakan hasil kerjasama dua unsur; pengalaman dan kearifan akal budi.
Pengalaman inderawi merupakan unsur a posteriori (yang datang kemudian),
sedangkan akal budi merupakan unsur a priori (yang datang lebih dahulu).
Kant mengkritik Empirisme dan Rasionalisme,
karena keduanya hanya mementingkan satu dari dua unsur ini, sehingga hasilnya
setiap kali berat sebelah. Padahal, katanya, pengetahuan selalu merupakan
sintesis. Untuk menekan pertentangan itu
Kant megadakan tiga pembedaan perumusan kebenaran, yaitu akal budi (verstand),
rasio (vernunft) dan pengalaman inderawi.
Idealisme
Terma idealisme berasal dari kata idea yang berarti gambaran atau pemikiran,
dan isme yang berarti paham atau pendapat.
Idealisme ialah suatu pandangan dunia atau metafisika yang menyatakan bahwa
realitas dasar terdiri atas, atau sangat erat hubungannya dengan ide, pikiran
atau jiwa. Atau bisa disebut dengan aliran filsafat yang menjelaskan bahwa
kebenaran/pengetahuan sesungguhnya bukan bersumber dari rasio atau empiri,
melainkan dari gambaran manusia tentang suatu pengamatan.
Tokoh Idealisme dan Pemikirannya
J. G. Fichte (1762-1914)
Fichte adalah tokoh
idealisme subyektif, yaitu pandangan bahwa sumber pengenalan/pengetahuan
bukanlah rasio teoritis atau praktis seperti kata Immanuel Kant, melainkan pada
aktivitas Ego. Pemikirannya didasarkan pada konsep Ego Mutlak; yang menemukan
dan meneruskan pengertian-pengertian tentang obyek; ego tidak hanya sebagai
“penemu”, melainkan kata Fichte sekaligus sebagai yang “menciptakan
benda-benda” (obyek). Dengan demikian, peran manusia sebagai subyek sangat
dominan di dalam menggagaskan sesuatu.
F. W. J. Schelling (1775-1854)
Schelling adalah
tokoh idealisme obyektif sebagai kebalikan dari idealisme subyektif. Menurut
Schelling, kebenaran gambaran tentang dunia tidaklah ditentukan oleh subyek
(ego), melainkan oleh obyek pengamatan, yaitu bagaimana obyek itu menampilkan
dirinya, atau bagaimana obyek menyadarkan subyek. Apabila aku (ego) menentukan
kehendak, hal itu diharuskan oleh kemestian yang mendahului kehendak, yaitu
seluruh obyek pengamatan kecuali sebagai pemberi kehendak, juga sebagai pemberi
arah bahkan mampu merubah kehendak.
Hegel (1770-1831)
Hegel adalah tokoh
idealisme mutlak, yang sangat berperan bagi penyemburnaan idealisme. Hegel
berhasil menampilkan idealisme yang terpadu setelah dikoyak-koyak oleh Fichte
dan Schelling. Apabila Fichte bersifat subyektif dan Schelling bersifat
obyektif, maka Hegel melihat secara keseluruhan (totalitas).
Membuktikan
kebenarannya yang mutlak itu, Hegel menyusun alur pikir yang disebut dengandialektika, yaitu tesis, antitesis dan sintesis.
Materialisme
Berasal dari
“materi” yang berarti benda. Materialisme adalah aliran filsafat yang
berpendapat bahwa, kebenaran tidaklah ditentukan oleh gambaran, melainkan oleh
benda dan seluruh kenyataan yang ada dirumuskan dan ditentukan oleh benda.
Aliran ini memandang bahwa realitas seluruhnya adalah materi belaka.
Tokoh Materialisme dan Pemikirannya
Ludwig Feuerbach (1804-1872)
Menurutnya hanya
alamlah yang ada. Manusia adalah alamiah juga seperti halnya benda seperti kayu
dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan
benda seperti kayu dan batu, tetapi materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya/pada
prinsipnya/pada dasarnya manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata
lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul
ketimbang sapi, batu, atau pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja
dengan sapi.
Karl Marx (1818-1883)
Pokok
pemikiran Marx diambil dari ajaran Filsafat Hegel dan Filsafat Feurbach.
Dari Hegel diambil metode dialektikanya dan mengenai sejarah, sedang dari
Feurbach diambil teori materialismenya. Ajaran filsafat Karl Marx disebut juga materialisme dialektika, dan disebut juga materialisme historis. Disebut sebagai materialisme
dialektika karena peristiwa kehidupan yang didominasi oleh keadaan ekonomis
yang materiil itu berjalan melalui proses dialektika: tese, antitese dan sintese.Disebut
materialisme historis, karena menurut teorinya, bahwa arah yang ditempuh
sejarah sama sekali ditentukan oleh perkembangan sarana-sarana produksi yang
materiil.
Positivisme
Istilah positivisme
berasal dari kata “positive” yang berarti “jelas dan bisa digambarkan serta
bermanfaat”. Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal
dari fakta yang positif. Sesuatu di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan
dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Menurut aliran ini,
pemikiran manusia mengalami perkembangan, mulai dari yang sangat sederhana,
sampai yang modern, yaitu positif. Pada tahap ini manusia hanya mempercayai
yang riil saja berdasarkan ilmu positif (science positive) yang
didasarkan pada pengamatan (observasi) dan percobaan langsung (eksperimentasi).
Melalui dua pembuktian ini, segala yang berbau metafisis dibuang, karena tidak
bisa dibuktikan dengan dua pendekatan tersebut.
Tokoh aliran ini
adalah Auguste Comte (1798-1857), ia
berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi
harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan
indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen.
Jadi pada dasarnya
positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya
menyempurnakan Empirisme dan Rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain,
ia menyempurnakan metoda ilmiah dengan memasukkan perlunya eksperimen dan
ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan Empirisme plus Rasionalisme.
Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomenon yang mengandung tiga pengertian saling
terkait, yaitu “yang langsung nampak, sesuatu yang langsung menampakkan diri
tetapi masih terselubung dan proses penampakkan”. Berpijak pada tiga pengertian
di atas, maka fenomenologi menurut
istilah yang dikembangkan ialah “filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran
merupakan hasil deskripsi intuitif manusia terhadap suatu obyek sesuai dengan
penampakan diri (fenomena) obyek tersebut”.
Jadi aliran ini
berbeda dengan rasionalisme (subyektif), empirisme (obyektif) dan idealisme
(idealistik). Maka fenomenologi menggabungkan di antara subyek (manusia), obyek
(yang diamati) dengan cara pengamatan secara intuitif.
Tokoh Fenomenologi dan Pemikirannya
Edmund Husserl (1859-1938)
Beliau adalah filosof
Jerman dan pendiri Fenomenologi. Pemikiran terpentingnya adalah: (1) Teori kebenaran; menurut
Husserl kebenaran haruslah digabung di antara subyek dengan obyek. Obyek diberi
kesempatan memperkenalkan dirinya kepada subyek yang mengamati, sesuai dengan
semboyanzurukh zu den schen selbs (kembalilah
kepada benda-benda sendiri).
(2) Tiga jenis reduksi; agar
intuisi dapat menangkap gejala-gejala di atas secara benar, maka manusia harus
melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman dan gambaran sebelumnya yang
diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Caranya ialah dengan tiga jenis
reduksi, yaitu: reduksi
fenomenologis, reduksi eiditis, reduksi fenomenologi
transendental.
Max Scheler (1874-1928)
Max Scheler
merupakan pelanjut tradisi fenomenologi. Pemikiran eksklusif Scheler dibanding
fenomenolog (filsuf fenomenologi) lainnya ialah tentang agama. Menurutnya,
agama dan filsafat merupakan dua entitas otonom sesuai dengan posisinya.
Kendati memiliki otonomi eksklusif, namun di antara keduanya memiliki
keterikatan. Misalnya, dengan memahami metafisis dalam filsafat tidak serta
merta dapat memahami konsep metafisika agama, karena keduanya memiliki aktus
kodrati yang berbeda. Sebab itu kebenaran agama hanya dapat diterima atas dasar
kepercayaan religius, bukan kebenaran metafisis-filosofis.
Di dalam upaya menemukan
kepercayaan religius, Scheler menggunakan pendekatan fenomenologi. Melalui
pendekatan fenomenologi ini, menurut Scheler, dapat ditampilkan ciri dasar aktus religius, yaitu bahwa
aktus itu mempunyai intensi yang transendental dunia (yang ilahi), dan yang
ilahi ini menjadi dasar dari aktus religius. Dengan kata lain, aktus religius itu membutuhkan pemenuhan intensional
dari dunia transenden. Aktus
religius membutuhkan suatu
obyek yang tak terbatas, yaitu yang ilahi. Oleh karena itu, kebutuhan akus religius
hanya dapat terpenuhi oleh sesuatu yang diyakini subyek sebagai berasal dari
Tuhan.
Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist itu sendiri adalaha bahasa Latin yang
artinya: ex; keluar dan sistare; berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar
dari diri sendiri. Secara umum eksistensialisme dimaksudkan sebagai aliran
filsafat yang membicarakan keberadaan segala sesuatu, termasuk manusia.
Permasalahannya ialah, siapakah yang benar-benar berada (bereksistensi); apakah
manusia, atau Tuhan atau kedua-duanya.
Tokoh Eksistensialisme dan Pemikirannya
Martin Heidegger (1889-1976)
Pemikiran Heidegger
ialah mengenai ada/realitas dan waktu (sein
und zeit), yaitu
apakah ada itu konkrit atau tidak. Persoalan yang menjadi sorotan utamanya
ialah pemaknaan “Aku ada”. Menurutnya, manusia adalah suatu makhluk yang
terlempar di dunia ini tanpa persetujuannya. Ia seolah berada di jurang
ketiadaan (nothingness) yang sangat dalam yang menyebabkannya gelisah.
Hal ini menurutnya, merupakan kelemahan manusia dan sebagai dorongan agar ia
dapat memahami akan eksistensinya. Sebagai puncak eksistensi, manusia berbeda
dengan benda-benda sekitarnya. Namun manusia mempunyai kecenderungan untuk
menjadi suatu benda.
Soren Kierkegard (1813-1855)
Kierkegard
dipandang sebagai tokoh eksistensialisme teis, yaitu berupaya mengangkat
eksistensi manusia tanpa harus membuang jauh Tuhan dari kehidupan manusia.
Ungkapannya ialah: “Saya menjadi sebagaimana saya ada”. Melalui ungkapan ini
Kierkegard menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berkeistensi yang
berhadapan dengan eksistensi Tuhan. Hanya manusia yang bereksistensi bukan
berarti yang lain tidak ada. Hanya saja tingkat eksistensi dunia,
binatang-binatang dan makhluk lainnya lebih rendah, karena mereka hanya ada,
tidak mengada.
Pragmatisme
Pragmatisme berasal
dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan, dan juga manfaat. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu
memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya
menjadi relative tidak mutlak.
Tokoh Pragmatisme dan Pemikirannya
William James (1842-1910)
Sebagai pendiri
pragmatisme, pemikiran terpentingnya ialah mengenai makna pragmatisme.
Pragmatisme merupakan filsafat ala Amerika yang berciri pragmatis. Orang
Amerika tidak puas dengan filsafat teoritis yang bertanya “apa itu”, tetapi
memasuki filsafat praktis yang bertanya “apa gunanya”. Sistematisasi dari jenis
kedua inilah yang melahirkan filsafat pragmatisme. Oleh karena itu, dikaitkan
dengan aliran rasionalisme dan empirisme,
pragmatisme berada di antara dua aliran tersebut.
Pandangan
filsafatnya, diantaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku
umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal.
Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktek, apa yang
kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Ukuran segala
sesuatu ialah manfaat yang praktis. Pandangan ini mencakup seluruh aspek
kehidupan, termasuk agama dan moral. Dalam kaitan dengan agama, James tidak
bertanya “kebenaran agama” yang ia tanya ialah “apakah hasilnya agama menjadi
pedoman hidup saya”. Jadi, manusia bebas memilih di antara percaya dan tidak
percaya, sesuai dengan pertimbangan fragmatisnya. Begitu juga dalam bidang
moral, ukuran baik buruk ditentukan oleh adakah manfaat dari suatu perbuatan;
jika ada dipandang baik, dan jika tidak dipandang buruk.
John Dewey (1859-1952)
Sebagai pengikut
filsafat pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah
memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh
karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara
praktis.
Menurutnya tak ada
sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami
kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu
berpikir tidak lain daripada alat untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian
dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara
yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya
yang sebenarnya adalah metoda induktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar